Penyebab Kerusuhan London Agustus 2011 - Di tengah London yang membara, ada pertanyaan dari seorang rekan jurnalis: apakah Oxford Street di London juga dilanda rusuh? Jalan itu adalah salah ikon di pusat kota London, dan terkenal sebagai tujuan wisata. Sejumlah toko ternama dan perkantoran elit terletak di sana.
Mengingat pentingnya kawasan itu, pertanyaan si jurnalis adalah wajar. Jika kawasan ini terusik maka simbol roda ekonomi dan turisme akan runtuh. London tak lagi aman, dan petaka politik akan mengancam Inggris.
Saya mencoba menyusuri kota London, dan melihat seberapa gawat kerusuhan itu menjalar. Tujuan pertama adalah Oxford Street itu. Ada kesan mencekam ketika melewati daerah Kilburn, dan melihat toko-toko sudah tutup Selasa malam kemarin. Ini adalah hari ketiga London dicekam amarah.
Tapi, sesampai di Oxford Street, kesan mencekam itu pupus. Para turis masih bersemangat berbelanja. Pusat kota London rupanya tak terusik kerusuhan. Kegiatan berjalan normal. Yang berbeda, jalanan agak longgar. Pada sore hari kawasan itu biasanya macet. Kemarin, arus kendaraan tampaknya berkurang hingga setengah.
Pusat kota yang kerap dikenal Westminster City memang tak tersentuh gelombang kerusuhan dan penjarahan. Titik kerusuhan lebih banyak di daerah yang melingkari pusat. Persisnya di zona tiga, baik di utara seperti Tottenham, Enfield dan Islington; timur seperti Woolwichdan East Ham; selatan di Clapham, Lewisham dan Peckham serta Croydon; juga bagian barat di Ealing.
Kawasan itu punya karakter berbeda dengan daerah lainnya. Daerah itu relatif miskin, dan menjadi konsentrasi para imigran. Itu sebabnya mudah sekali menuding kerusuhan itu seakan disebabkan para imigran. Meski secara hukum Inggris melarang praktik rasialisme, belakangan isu itu kembali membayang.
Remaja vs Polisi
Melihat para pelaku kerusuhan ada satu hal yang perlu mendapat perhatian. Para pelakunya sebagian besar adalah para remaja. Salah satu laporan media menyebutkan polisi menangkap pula seorang pelaku berusia 11 tahun.
Tak heran, para politisi ramai mengecam para pelaku. Mereka dianggap melakukan kekerasan tak berdasar nalar sama sekali, dan pelakunya adalah kriminal. Ini merujuk kepada perusakan pertokoan yang berlanjut dengan aksi penjarahan.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi penerapan hukum, sebetulnya mudah bagi Perdana Menteri mengancam penerapan hukum tak pandang bulu, serta menafikan segala bentuk permakluman kekerasan karena soal ekonomi dan sosial seperti dilansir Walikota London.
Patut diperhatikan, pada aksi kekerasan ini sasarannya pertama kali adalah polisi. Lalu, penjarahan dilakukan terhadap toko menjual barang-barang mahal. Belum terlihat adanya indikasi penyerangan terhadap kelompok masyarakat tertentu, walaupun isu balas dendam terhadap kelompok tertentu juga sempat menyebar.
Pihak yang menjadi sasaran selama empat hari kerusuhan terakhir ini justru lebih jelas: polisi.
Polisi dalam hal ini patut diduga memberikan andil dalam perluasan skala kerusuhan setelah menembak mati seorang warga London, Mark Duggan. Ketika penyelidikan atas kematiannya sedang berlangsung, aksi damai memprotes tindakan polisi itu tidak dipandang ancaman serius sehingga polisi hanya mengirim petugas berjumlah ala kadarnya.
Seperti tersaksikan juga di tayangan media, para remaja menjadikan polisi sebagai ‘lawan’. Apakah perlawanan itu refleksi kemarahan atas tindakan ‘rasial’ polisi sehari-hari terhadap warga berkulit gelap, ataukah hanya reaksi atas tewasnya Duggan masih belum bisa dipastikan.
Patut diduga kemarahan itu bukan hanya cermin ketidaksukaan warga atas praktik polisi yang tidak profesional di level bawah, tapi juga kepada petinggi kepolisian. Inggris baru saja diguncang skandal penyadapan telepon oleh tabloid News of The World milik raja media Rupert Murdoch. Sejumlah petinggi polisi mundur setelah muncul dugaan mereka punya hubungan khusus dengan jaringan media Murdoch itu.
Di lapangan jelas tampak amarah itu dilampiaskan terhadap simbol kemewahan dan kemakmuran, terutama toko-toko yang menjual peralatan elektronik seperti komputer, dan telepon genggam serta beberapa pakaian mewah.
Ini mengarahkan dugaan ada kemarahan atas situasi ekonomi yang kian memburuk. Inggris belum kelar dari krisis. Angka pengangguran masih cukup tinggi, meningkat tajam akibat krisis ekonomi pada 2008, dan masih bertahan di kisaran 7,7%. Para angkatan kerja muda yang terserap dunia kerja hanya berkisar 20%.
Berkurangnya subsidi
Situasi menjadi kian sulit ketika Partai Konservatif bersama koalisinya Partai Liberal Demokrat menerapkan kebijakan anggaran ketat untuk menyehatkan anggaran negara. Mereka mengurangi hutang yang berakibat berkurangnya pembiayaan negara terhadap banyak fasilitas dan subsidi bagi masyarakat.
Perpustakaan publik yang bisa ditemui di setiap pojok kota, kini terancam ditutup hingga setengah. Begitu pula pusat-pusat kegiatan remaja. Subsidi negara bagi para penganggur dan pencari kerja juga berkurang. Masa depan kian muram ketika pemerintah memberikan ijin kenaikan biaya pendidikan di universitas hingga tiga kali lipat. Beban hidup kian menekan bagi keluarga berpendapatan rendah, bahkan menengah sekalipun.
Situasi itu diperparah oleh frustasi atas kesenjangan sosial yang secara vertikal menajam. Beberapa tahun terakhir, liputan media rajin menyorot kesenjangan warga miskin dan kaya ini. Basis bagi ledakan kemarahan itu sudah ada, ibarat bom waktu, tinggal menunggu pemicunya.
London dan Inggris secara umum memang masih menjadi simbol kekuatan ekonomi yang mapan, dengan selera konsumerisme yang tinggi pula. Bagi mereka yang kaya, berjalan di Oxford Street, simbol konsumerisme London, adalah sebuah kegembiraan. Tapi, bagi yang memiliki dana terbatas, hanya makin menumpuk kekecewaan.
Para politisi dan penegak hukum Inggris boleh saja percaya diri dengan penerapan hukum tegas, dan berhasil menciptakan keteraturan kembali. Tapi ada yang lebih penting, membersihkan aparat dari skandal, serta memahami suasana hati segmen tertentu di masyarakat. Jika tidak, gagasan ‘Big Society’ dari Perdana Menteri David Cameroon terancam gagal menyentuh warga yang merasa dianaktirikan.
Syahrul Hidayat, Kandidat Doktor di University of Exeter, UK
Sumber : Vivanews.com